Sabtu, 17 November 2018

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
(APBN)


1.                  PENDAHULUAN
            APBN di negara-negara sedang berkembang adalah sebagai alat untuk memobilisasi  dana investasi dan bukannya sebagai alat untuk mencapai sasaran stabilisasi jangka pendek. Oleh karena itu besarnya tabungan pemerintah pada suatu tahuns ering dianggap sebagai ukuran berhasilnya kebijakan fiskal (Anne Booth dan Peter McCawley, 1990).
           Baik pengeluaran maupun penerimaan pemerintah pasti mempunyai pengaruh atas pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah dapat memperbesar pendapatan nasional (expansionary), tetapi penerimaan pemerintah dapat mengurangi pendapatan nasional (contractionary). Timbullah gagasan untuk dengan sengaja mengubah-ubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna mencapai kestabilan ekonomi (Suparmoko, 1992).
           Rincian tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya akan nampak dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Jadi melalui indikator APBN dapat dianalisis seberarpa jauh peran pemerintah dalam kegiatan perekonomian nasional (Suseno, 1995).

1.1     APBN Sebagai Alat Mobilisasi Dana Investasi
Sumber dana investasi beasal dari tabungan (saving). Sumber dana investasi swasata (perusahaan) berasal dari tabungan masyarakat yang terhimpun pada lembaga keuangan bank. Sedangkan sumber dana invstasi pemerintah berasal dari tabungan pemerintah. Tabungan pemerintah terbentuk dari sisa penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin.
Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak (PNBP). Bagian terbesar dari penerimaan dalam negeri berasal dari penerimaan pajak. Untuk APBN 2001 dan 2002, masing-masing penerimaan pajak sebesar Rp 185,54 triliun (61,72%) dan Rp 214,71 triliun (70,42%). Jumlahnya mengalami kenaikan, namuin rasionaya terhadap PDB hampir sama  yaitu masing-masing 12,44% (2001) dan 12,51`% (2002) di bawah target 13,00%.
Tahun 2001 terbentuk tabungan pemerintah sebesar Rp 81,68 triliun, karena besarnya penerimaan dalam negeri Rp. 300,60 triliun, sedang pengeluaran rutin Rp 218,92 triliun. Sedang tahun 2002 terbentuk tabungan pemerintah Rp 186,19 triliun, karena penerimaan dalam negeri Rp 304,89 triliun sedang pengeluaran rutin turun menjadi Rp 200,38 triliun.

1.2     APBN sebagai Alat Stabilisasi Ekonomi
Pemerintah Orde Baru telah menentukan beberapa kebijaksanaan di bidang anggaran belanja dengan tujuan mempertahankan stabilitas proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Tindakan-tindakan ini dapat diringkas sebagai berikut :
a.     Anggaran belanja dipertahankan agar seimbang dalam arti bahwa pengeluaran total tidak melebihi penerimaan total.
b.     Tabungan pemerintah diusahakan meningkat dari waktu ke waktu dengan tujuan agar mampu menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan.
c.     Basis perpajakan diusahakan diperluas secara berangsur-angsur dengan cara mengintensifkan penaksiran pajak dan prosedur pengumpulannya.
d.     Prioritas harus diberikan kepada pengeluaran-pengeluaran produktif pembangunan, sedang pengeluaran-pengeluaran rutin dibatasi. Subsidi kepada perusahaan-perusahaan negara dibatassi.
e.     Kebijaksanaann anggaran diarahkan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan secara maksimal sumber-sumber dalam negeri. (Anne Booth dan Peter McCawley, 1990)
          Relasi ekonomi antara pemerintah dengan perusahaan dan rumah tangga terutama melalui pembayaran pajak dan gaji, pengeluaran konsumsi, dan pemberian subsidi.  Dalam sistem ekonomi tertutup tidak ada perdagangan (ekspor dan impor). Tujuan kebijakan fiskal adalah kestabilan ekonomi yang lebih mantap artinya tetap mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang layak tanpa adanya pengangguran yang berarti atau adanya ketidakstabilan harga-harga umum. Dengan kata lain tujuan kebijakan fiskal adalah pendapatan nasional riil terus meningkat pada laju yang dimungkinkan oleh perubahan teknologi dan tersedianya faktor-faktor produksi dengan tetap mempertahankan kestabilan harga-harga umum (Sumarmoko, 1992).
Kebijakan fiskal tercermin pada volume APBN yang dijalankan pemerintah, karena APBN memuat rincian seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dengan demikian APBN dipakai oleh pemerintah alat stabilisasi ekonomi. Anggaran yang tidak seimbang akan bisa berpengaruh terhadap pendaptan nasional.
Perubahan pendapatan nasional (tingkat penghasilan) akan ditentukan oleh besarnya angka multplier (angka pengganda). Angka pengganda ditentukan oleh besarnya marginal propensity to consume investasi (I) dan konsumsi  (C) adalah 1/(1-MPC), sedangkan untuk lump-sum tax (Tx) dan pembayaran transfer (Tr) adalah MPC/(1-MPC).
Contoh hipotesis :
          Misalkan suatu APBN defisit, dimana Tax (penerimaan) sebesar 10 satuan, G (pengeluaran) sebesar 15  satuan, sedang MPC diketahui 4/5, maka :
·       Dengan Tax sebesar 10 satuan, pendapatan nasional akan berkurang sebesar 0,8/(1-0,8)10 = 40 satuan
·       Dengan G sebesar 15 satuan, pendapatan nasional akan bertambah sebesar 1/(1-0,8)15 = 75 satuan
·       Jadi anggarann defisit tersebut akan menghasilkan tambahan pendapatan nasional sebesar : (DY) = (DG) – (DTx) = 75 satuan – 40 satuan = 35 satuan.

2.       STRUKTUR DAN SUSUNAN APBN
Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan. Sejak Tahun 2000, Indonesia telah menguba komposisi APBN dari T-account menjadi I-account sesuai dengan standar statistik keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS).

2.1     Pendapatan Negara dan Hibah
Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap total penerimaananggaran, jumlahnya semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya.
Berbeda dengan sistem penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada system penganggaran saat ini sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap sebagai bagian dari penerimaan. Dalam pengadministrasian penerimaan negara, departemen/lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara langsung untuk membiayai kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.


2.2     Belanja Negara
Belanja negara terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No. 17/2003 mengintrodusing uniffied budget sehingga tidak lagi ada pembedaan antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh dan provinsi Papua.

2.3     Defisit dan Surplus
Defisit atau surplus merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran.Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus.Sejak Tahun 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran berimbang dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overallbalance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.

2.4     Pembiayaan
Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah: pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar negeri (netto) yang merupakan selisihantara penarikan utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.

3.       PRINSIP-PRINSIP DALAM APBN
Sejak Orde Baru mulai membangun, APBN kita disusun atas dasar tiga prinsip, yaitu prinsip Anggaran Berimbang (balance budget), prinsip Anggaran Dinamis dan prinsip Anggaran Fungsional. Masing-masing prinsip ini dapat diukur dengan cara perhitungan tertentu (Susento, 1995). Namun sejak tahun 1999 tidak lagi digunakan prinsip anggaran berimbang dalam menyusun APBN. APBN disusun berdasarkan prinsip anggaran defisit.

3.1     Prinsip Anggaran Defisit
Bedanya dengan prinsip anggaran berimbang adalah bahwa pada anggaran defisit ditentukan :
1)    Pinjaman LN tidak dicatat sebagai sumber penerimaan melainkan sebagai sumber pembiayaan.
2)    Defisit anggaran ditutup dengan sumber pembiayaan DN + sumber pembiayaan LN (bersih).

Sebagai perbandingan dapat diringkas sebagai berikut :
Anggaran Defisit                                          Anggaran Berimbang
PNH – BN     = DA                                       PDN – PR = TP
DA                = PbDN + PbLN                      DAP          = AP – TP
PbDN           = PkDN + Non – Pk DN
PbLN            = PPLN – PC PULN

Keterangan :                                                             Keterangan :
PNH             = pendapatan negara                           PDN = Pendapatan DN
                        dan hibah                                          PR    = pengeluaran rutin
BN                = belanja negara                                 TP     = tabungan pemerintah
DA                = defisit Anggaran                               DAP  = defisit anggaran pembangunan
PbDN           = pembiayaan DN                                AP    = anggaran pembangunan
PkDN            = Perbankan DN                                 BLN  = bantuan luar negeri
Non-PkDN    = Non-Perbankan DN                  
PbLN            = pembiayaan LN
PPLN            = penerimaan pinjaman LN
PCPULN       = pembayaran cicilan pokok Utang luar Negeri

3.2     Prinsip Anggaran Dinamis
Ada anggaran dinamis absolut dan anggaran dinamis relatif. Anggaran dikatakan bersifat dinamis absolut apabila TP dari tahun ke tahun terus meningkat. Anggaran bersifat dinamis relatif apabila prosentase kenaikan TP (DTP) terus meningkat atau prosentase ketergantungan pembiayaan pembangunan dari pinjaman luar negeri terus menurun.

Anggaran dinamis relatif dapat dihitung dengan cara :
1)    Prosentase perubahan TP (DTP)
DTP =
2)    Prosentase Ketergantungan Pembiayaan
B1 =
Keterangan :
TPz               = tabungan pemerintah tahun x
TP(x-1)          = tabungan pemerintah tahun sebelumnya
B1                 = tingkat ketergantungan pembiayaan dari bantuan LN

3.3     Prinsip Anggaran Fungsional
Anggaran fungsional berarti bahwa bantuan/ pinjaman LN hanya berfungsi untuk membiayai anggaran belanja pembangunan (pengeluaran pembangunan) dan bukan untuk membiayai anggaran belanja rutin. Prinsip ini sesuai dengan azas “bantuan luar negeri hanya sebagai pelengkap” dalam pembiayaan pembangunan. Artinya semakin kecil sumbangan bantuan/ pinjaman luar negeri terhadap pembiayaan anggaran pembangunan, maka makin besar fungsionalitas anggaran. Di sini perlu kiranya diberi tolak ukur kuantitatif untuk menentukan sampai seberapa jauh makna kata “sebagai pelengkap” misalnya :
1)    Bila nilai Ri : > 50% = bantuan/pinjaman luar negeri sebagai sumber daya utama.
2)    Bila nilai Ri : 20% - 50% = bantuan/ pinjaman luar negeri sebagai sumber dana  penting.
3)    Bila nilai Ri : < 20% = bantuan/ pinjaman luar negeri sebagai sumber dana pelengkap.

Pada tahun 1974/1975 nilai Ri sebesar 213,9% (terkecil) dan tahun 1988/ 1989 nilainya 81,5% (terbesar). Selama Pelita I sampai Pelita V, rata-rata nilai Ri sebesar 46,3%. Jadi selama 25 tahun membangun, bantuan/ pinjaman luar negeri masih merupakan sumber dana yang penting bagi pembiayaan pembangunan di Indonesia.

Rabu, 17 Januari 2018

SISTEM DRAINASE PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perkebunan kelapa sawit merupakan jenis usaha jangka panjang. Kelapa sawit yang baru ditanam saat ini baru akan dipanen hasilnya beberapa tahun kemudian. Sebagai tanaman tahunan (perennial crop), pada kelapa sawit dikenal periode tanaman belum menghasilkan (TBM) yang lamanya bervariasi 2-4 tahun, tergantung beberapa faktor yang salah satunya adalah kebutuhan air yang diperlukan dalam perkebunan kelapa sawit tersebut.
Air merupakan kebutuhan utama bagi tanaman kelapa sawit. Jika penyaluran air yang kurang sempurna atau kurang tepat akan mengakibatkan kelainan dan bahkan bisa mengakibatkan kematian pada tanaman kelapa sawit tersebut, sehingga air yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembuatan saluran air/ drainase yang tepat yang bertujuan untuk mengelola dan mengumpulkan air yang diperlukan oleh tanaman kelapa sawit.
Umumnya, lahan yang datar atau sepanjang aliran sungai (alur alam) mempunyai masalah drainase yang cukup berat sehingga tidak jarang akan banyak dijumpai areal rendahan (low lying area) dan rawa-rawa yang dipengaruhi oleh pasang-surut permukaan air sungai. Pembukaan lahan yang mempunyai masalah drainase akan mengalami hambatan yang serius. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembukaan saluran drainase untuk mengeluarkan air dari areal yang akan dibuka sehingga penanaman dapat dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas maka rumusan masalah pada penulisan ini yaitu bagaimana pola jaringan drainase yang ada pada perkebunan kelapa sawit dan bagaimana dasar serta teknis pembuatan sistem saluran air/ drainase di perkebunan kelapa sawit.

1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pola jaringan drainase dan dasar serta teknis pembuatan sistem drainase di perkebunan kelapa sawit agar air yang masuk ke dalam areal perkebunan tersebut dapat dikendalikan atau ditata.







BAB 2
LANDASAN TEORI


2.1. Pola Jaringan Drainase Perkebunan Kelapa Sawit
Pola jaringan drainase 2:1 adalah dalam sebuah blok tanam kebun sawit, satu jaringan tersier dibuat antara dua titik barisan tanam, dan total dari saluran tersier pola ini adalah 59 buah saluran tersier dalam satu blok.



 Gambar 2.1. Pola Jaringan Drainase 2:1





Gambar 2.2. Potongan A-A



Pola jaringan drainase 4:1 adalah dalam sebuah blok tanam kebun sawit, satu jaringan tersier dibuat antara empat titik barisan tanam, dan total dari saluran tersier pola ini adalah 29 buah saluran tersier dalam satu blok.
Pola jaringan drainase 4:1 adalah dalam sebuah blok tanam kebun sawit, satu jaringan tersier dibuat antara empat titik barisan tanam, dan total dari saluran tersier pola ini adalah 29 buah saluran tersier dalam satu blok.





Gambar 2.3. Pola Jaringan Drainase 4:1





 

Gambar 2.4. Potongan A-A


Selanjutnya, juga sama dengan pola jaringan drainase 6:1 adalah dalam sebuah blok tanam kebun sawit, satu jaringan tersier dibuat antara enam titik barisan tanam, dan total dari saluran tersier pola ini adalah 19 buah saluran tersier dalam satu blok.

Gambar 2.5. Pola Jaringan Drainase 6:1



Gambar 2.6. Potongan A-A



Blok 8 L adalah blok yang mempunyai pola jaringan 2:1, blok 12 M adalah blok yang mempunyai pola jaringan 4:1, dan 16 N adalah blok yang berpola jaringan drainase 6:1. Kinerja drainase yang baik adalah kinerja drainase pada blok 8 L.
Kinerja pada pola jarinagn 2:1 dikatakan baik karena adanya debit air yang tinggi disini maka semakin banyak pula air genangan yang dapat di alirkan. Selanjutnya diantara dari ketiga ini, debit blok 16 N masuk dalam kategori cukup baik sebab debit air pada blok ini berbeda tipis dengan blok 8 L.
Sedangkan  drainase yang buruk terjadi pada 4:1, disini aliran air sangat lambat sekali. Dampak yang terjadi dari sini adalah air lamban terdrainase, sehingga apabila terjadi hujan besar maka pada blok ini akan terjadi genangan air.

2.2. Pembuatan Saluran Air/ Drainase Perkebunan Kelapa Sawit
Pembuatan saluran air dimaksudkan untuk mengendalikan tata air di dalam wilayah perkebunan. Metode pengendalian tata air yang umum digunakan yaitu irigasi dan drainase. Irigasi merupakan usaha untuk menambah air ke dalam wilayah, sedangkan drainase kebalikannya. Hal ini perlu disadari agar tidak terjadi kekeliruan dalam pemakaian terminology irigasi untuk tata-nama (nomenclature) drainase karena kedua sistem ini saling berlawanan dan tidak mungkin digabung menjadi satu kesatuan. Untuk mencegah timbulnya kerancuan dalam tata nama sistem drainase, berikut dijelaskan tipe dan ukuran saluran.
A.      Drainase lapangan (field drains; secara salah kaprah disebut parit tersier)
·         Berfungsi menyekap air yang ada dan mengalirkannya di permukaan tanah.
·         Dalam keadaan tertentu berfungsi menurunkan permukaan air tanah.
·         Merupakan parit buatan.

B.      Drainase pengumpul (collection drains; secara salah kaprah disebut parit sekunder)
·         Berfungsi mengumpulkan air dari suatu areal tertentu dan mengalirkannya
ke pembuangan.
·         Merupakan buatan manusia dan dapat berbentuk saluran (parit), kolam, waduk, dan lainnya.
·         Dapat juga berupa teras bersambung dan benteng, dimana bentuk pengumpulannya berdiri sendiri dan pembuangannya melalui peresapan
tanah.

C.      Drainase pembuangan (outlet drains; secara salah kaprah disebut parit primer)
·         Berfungsi mengeluarkan air dari suatu areal tertentu.
·         Umumnya memanfaatkan kondisi alam yang ada, seperti sungai, jurang,
rendahan, dan lainnya.
·         Jika tidak dapat memanfaatkan kondisi alam, juga dapat berupa saluran
buatan (kanal), sistem pompa, dan lain-lain.

Pengertian dan sistematika istilah drainase ini bersifat relatif danter gantung pada konteks permasalahannya. Misalnya, drainase pembuangan bagi divisi/ afdeling mungkin merupakan drainase pengumpul dalam konteks kebun. Secara garis besar, data pada Tabel 2.1. dapat dijadikan pedoman dalam menentukan tipe dan ukuran saluran air.

Tabel 2.1. Tipe dan Ukuran Saluran Air
Tipe Drainase
Lebar Atas
(m)
Lebar Bawah (m)
Kedalaman
(m)
Lapangan
1,0
0,3
0-1,10
Pengumpul
2,0-2,5
0,5
1,25-1,75
Pembuangan
3,0-5,0
1,0
2,00-2,50

a.        Dasar pembuatan sistem drainase
·         Pembangunan sistem drainase di perkebunan terutama ditujukan untuk mengendalikan kelembapan tanah sehingga kadar airnya stabil antara 20  25% dengan kedalaman arus air (water table) maksimum 60 cm. Selain itu pembangunan drainase juga diusahakan terhindar dari kejenuhan air secara terus-menerus selama maksimum 2 minggu.
·         Sistem drainase dibuat berdasarkan pada kemampuan saluran air untuk mengeluarkan kelebihan air dalam 24 jam (m3/ 24jam). Volume air yang akan dialirkan melalui sistem drainase biasanya berkisar 60-80% dari curah hujan, tergantung pada jenis tanah, topografi, dan lamanya periode kekeringan. Dengan memperhitungkan 1 mm curah hujan setara dengan 10 m3 air hujan maka volume air yang diterima kebun sebagai berikut :



Perhitungan daya mengalirkan air ke luar sistem drainase (m3/ detik) dihitung berdasarkan curah hujan terbesar yang pernah terjadi di kebun. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan suatu sistem drainase dapat diformulasikan secara sederhana dalam rumus Manning, yaitu sebagai berikut :
                                                                                                 

Keterangan :
V= Kecepatan air mengalir (m/detik), nilai idealnya 0,3-0,8 m/detik
n = Koefisien kekasaran permukaan saluran air. Nilainya 0,25 bila bersih tidak bergulma dan 0,50 bila penuh gulma
f = Penampang basah saluran air atau penampang berisi air (merupakan faktor variabel yang harus dikelola)
c =  Keliling saluran air (merupakan faktor variabel yang harus dikelola)
i =  Sudut penurunan dasar saluran air/slope fall (m/m). nilai idealnya 0,03 0,05. Artinya, penurunan dasar saluran air 30-50 cm setiap 100 m panjang saluran air

Kemampuan sistem drainase untuk mengalirkan air dapat dihitung dengan dasar kecepatan air. Dalam sistem drainase yang baik, nilai kecepatan aliran air yaitu 0,3-0,8 m/ detik. Kecepatan aliran ini cukup aman terhadap pengikisan dinding dan dasar saluran air. Ambang batas kecepatan minimal yaitu 0,1 m/detik, dimana air sudah berpotensi untuk tergenang.
Prinsip dasar dari suatu sistem drainase yaitu menyekap air, kemudian mengumpulkannya, dan akhirnya dibuang keluar areal. Dengan demikian, drainase harus dirancang dalam bentuk jaringan yang memanfaatkan topografi dan mengalirkan kelebihan air berdasarkan gaya berat. Merancang sistem drainase yang baik harus mengacu pada peta topografi dan bukan berdasarkan kondisi visual saja (sesuatu yang sering terjadi di perkebunan dan umumnya tidak efektif hasilnya).

a.        Teknis pembuatan saluran drainase
Kondisi kebun, afdeling/ divisi, atau blok yang tergenang air-baik secara permanen maupun temporer merupakan indikasi bahwa sistem drainase alamiah tidak mampu mengeluarkan kelebihan air dalam waktu 24 jam. Dalam kondisi seperti ini, mutlak diperlukan peningkatan kemampuan sistem drainase untuk mengeluarkan air keluar areal. Secara optimal, peningkatan ini dapat dilakukan dengan membuat saluran air.
Pembuatan saluran air memerlukan perhitungan dan syarat teknis (spesifikasi) tertentu supaya tujuannya dapat tercapai. Saluran air harus membentuk suatu jaringan dan saling bermuara secara bertingkat, dimana saluran drainase lapangan bermuara pada drainase pengumpul dan drainase pengumpul bermuara pada drainase pembuangan. Titik temu (junction) antar saluran air dibuat bersudut 60-70° dan membentuk pola tulang ikan. Titik temu ini harus membelok ke arah aliran air dan tidak boleh tegak lurus. Disamping itu, titik temu ini juga harus berdiri sendiri (tunggal) sehingga mencegah terjadinya perputaran arus air/ turbulensi, hal yang umum terjadi bila suatu junction terdiri lebih dari 2 percabangan dan saling berhadapan.
Penampang saluran air (nilai c dalam rumus Manning) harus semakin membesar pada daerah hilir karena sifat aliran air yang akan mengakumulasikan air di daerah hilirnya. Pembuatan penampang saluran air yang besarnya sama (dari hulu ke hilir) seperti yang lazim dilakukan di kebun dapat menyebabkan air meluap dan menggenang di daerah hilir. Pembuatan penampang saluran air harus semakin membesar sesuai dengan urutan drainase lapangan, pengumpul, dan pembuangan.
Penurunan sudut dasar saluran air (slope fall = i) sebaiknya dibuat 30-50 cm per 100 m panjang saluran air (0,03-0,05 m/m). Jika penurunan sudut tersebut lebih curam-misalnya karena pengaruh topografi maka sudut penurunan dapat diperkecil dengan agak mengikuti arah kontur.
Saluran drainase lapangan yang berfungsi menyekap air, arahnya harus dibuat agak tegak lurus terhadap penurunan topografi dengan panjang maksimum 60 m. saluran drainase lapangan juga harus dibuat secara lurus dan dirawat supaya bebas gulma. Keberadaan gulma akan menghambat kelancaran aliran air (memperbesar nilai i dan mengecilkan nilai n dalam rumus Manning).
 Jika kondisi topografi tidak memungkinkan pembuatan saluran air yang lurus maka dapat dibelokan dalam bentuk busur lingkaran dengan jari-jari 100 m. Untuk sistem drainase di daerah rendahan, saluran drainase pengumpul dapat dibuat dua buah berkeliling (membentuk kaki bukit) dan satu atau lebih ditengah (biasanya lurus). Saluran drainase lapangan dapat dihubungkan dengan saluran pengumpul yang ada ditengah dan/atau saluran pengumpul yang melingkar. Seluruh saluran drainase pengumpul ini harus bermuara pada saluran pembuangan (Gambar 2.7.).




Gambar 2.7. Arah Aliran Air

Gambar 2.7. Sistem saluran drainase di areal rendahan :
1.     Drainase pembuangan              4. Saluran pengumpul yang melingkar di hulu
2.     Drainase pengumpul                5. Tanah tinggi
3.     Drainase lapangan                   6. Sudut pertemuan 60-70°








BAB 3
PEMBAHASAN


3.1. Pengertian Kelapa Sawit Di Lahan Gambut
Pengelolaan tata air di lahan gambut merupakan faktor kunci terwujudnya sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Perubahan penggunaan lahan khususnya dari hutan gambut menjadi lahan pertanian perlu disertai dengan tindakan drainase, karena dalam kondisi alaminya gambut dalam keadaan tergenang, sementara sebagian besar tanaman budidaya tidak tahan genangan.
Oleh karena itu, tujuan utama dilakukannya drainase adalah untuk menurunkan muka air tanah, sehingga tercipta kondisi aerob, minimal sampai kedalaman perakaran tanaman yang dibudidayakan, sehingga kebutuhan tanaman akan oksigen bisa terpenuhi. Tujuan lain dari dilakukannya drainase pada lahan gambut adalah untuk membuang sebagian asam-asam organik yang dapat meracuni tanaman. Oleh karena itu, meskipun jenis tanaman yang dikembangkan pada lahan gambut merupakan tanaman yang bisa tumbuh dalam kondisi tergenang misalnya padi, namun tindakan drainase masih perlu dilakukan agar konsentrasi asam organik berada pada tingkat yang tidak meracuni tanaman.
Tindakan drainase juga bisa berdampak terhadap terjadinya perbaikan sifat fisik tanah. Dalam kondisi tergenang, tanah gambut dalam kondisi lembek  sehingga daya menahan bebannya menjadi rendah.
Setelah didrainse kondisi gambut menjadi lebih padat, selain akibat pengurangan kadar air, peningkatan daya menahan beban juga terjadi karena proses pemadatan. Penurunan permukaan lahan gambut yang senantiasa menyertai proses drainase salah satunya diakibatkan oleh proses pemadatan (konsolodasi) tanah gambut.
Meskipun memberikan beberapa manfaat, namun tindakan drainase harus dilakukan secara hati-hati dan terkendali, karena jika proses drainase tidak disertai dengan pengaturan dan pengelolaan tata air yang tepat, maka beberapa fungsi lingkungan dari lahan gambut (diantaranya sebagai penyimpan karbon dan pengatur tata air daerah sekitarnya) akan mengalami penurunan. Tulisan ini membahas prinsip pengaturan tata air di lahan gambut, kearifan lokal pengelolaan air di lahan gambut, teknologi pengelolaan tata air pada lahan gambut berbasis tanaman semusim, dan teknologi pengelolaan tata air padalahan gambut berbasis tanaman tahunan.

3.2. Ciri-Ciri dan Klasifikasi Tanah Gambut
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi, daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan, dan mengering tidak balik.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar.
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dapat dibedakan menjadi :
·       Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
·       Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut setengah  lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
·       Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa.

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan yaitu :
·       Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan.
·       Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi :
·       Gambut dangkal (50 – 100 cm),
·       Gambut sedang (100 – 200 cm),
·       Gambut dalam (200 – 300 cm), dan
·       Gambut sangat dalam (> 300 cm)

3.3. Unsur Yang Harus Diperhatikan Di lahan Gambut
Prinsip utama pengelolaan air di lahan gambut "elevasi muka air di saluran pembuang harus dipertahankan setinggi mungkin, namun tetap diharapkan mampu memberikan ke dalaman air tanah yang optimum untuk pertumbuhan tanaman". Kedalaman air tanah minimum yang masih sangat memungkinkan adanya pertumbuhan tanaman atau disebut juga sebagai kedalaman air tanah optimum. Kedalaman air tanah demikian memungkinkan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman dan kematangan tanah. 



Gambar 3.1 Lahan Gambut dengan Tata Kelola Air.


Faktor dasar pengelolaan tata air di lahan gambut meliputi pembangunan jaringan tata air baik secara makro maupun mikro. Pembuatan saluran baik primer, sekunder dan tersier penting memperhatikan tata letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya yang disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi lahan sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan. Pembuatan saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan tipologi lahannya. Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat mengalir dengan baik, tinggi air di saluran rata dan fungsi dari jaringan pengairan rawa, yaitu :
1)    Berfungsi sebagai saluran drainase,
2)    Sebagai pemasukan air,
3)    Sebagai alat trasportasi,
4)    Berfungsi sebagai konservasi sumberdaya air rawa, dan
5)    Sebagai pendukung bagi proses reklamasi.

Ada beberapa konsep dasar yang harus diperhatikan dalam perencanaan dan pembuatan sistem tata air pada daerah gambut guna membantu pengelolaan tanaman industri seperti tanaman acacia, sawit, tebu, kelapa dan lain sebagainya, yang meliputi ;
1.       Sistem Hidrologi
Dalam melakukan perencanaan sistem tata air, harus diperhatikan dalam penetapan sistem hidrologi ini adalah:
·         Kondisi Cuaca seperti curah hujan, musim hujan dan kemarau, arah dan kecepatan angin, tingkat evaporasi.
·         Kondisi Hidrologi (Water Catchment Areas).
·         Panjang dan kedalaman dari sungai, apabila lahan sangat berdekatan dengan sungai yang ada.

2.       Sistem Kanalisasi
Dalam merancang dan mendesain sistem kanalisasi, hal yang dilakukan adalah :
·       Menentukan jenis, bentuk, panjang dan volume kanal agar sistem kanal dapat dipergunakan untuk kelancaran transportasi dan drainasi secara efektif dan efisien. Pada umunya dinamakan kanal primer, sekunder, tertier dan kolektor sesuai dengan fungsinya masing-masing.
·       Mendesain dan merancang sistem tata air sedemikian rupa sehingga akan mudah mendapatkan dan memonitor waterlevel/ table yang sesuai untuk kebutuhan tanaman (misalnya tanaman acasia berkisar 30-80 cm).
·       Melakukan pembagian zona tata air (water zone). Pembagian zona suatu wilayah ditentukan oleh tinggi rendahnya (topografi) dan garis kontur. Tujuan utama dibentuknya pembagian zona air wilayah ini untuk mencegah "verdrain dan waterlog dan dapat menetapkan tinggi water table ang baik.
·       Penempatan Outlet. Outlet adalah saluran air yang berfungsi untuk membuang kelebihan air dari suatu areal menuju menuju sungai atau laut. Pada outlet ini dibuat bangunan air. Data curah hujan adalah faktor penting untuk mengetahui berapa debit air yang harus dibuang dan dipertahankan.

3.       Sistem Hidrolika
Pekerjaan yang dilakukan dalam hal ini adalah:
·         Merancang/ mendesain dan memodifikasi sistem sedemikian rupa serta melakukan pendesainan bangunan air agar kelebihan air dapat dibuang pada keadaan air sungai/ laut sehingga mengalami pasang surut. Dalam arti pada kondisi air sungi/ laut pasang air tidak akan masuk/ meggenangi lahan sedangkan pada saat surut kelebihan air di lahan akan dibuang dengan lancar, sesuai dengan kebutuhan tanaman.
·         Dapat mengatur keseimbangan air di lahan sesuai dengan kebutuhan membuang kelebihan air pada waktu hujan dan mempertahankan air yang dibutuhkan pada saat musim kemarau.
·         Penempatan dan pembangunan bangunan air (Water Building) Bangunan air berfungsi untuk mengatur  keseimbangan air di lahan sesuai dengan kebutuhan yaitu membuang kelebihan air pada waktu hujan dan mempertahankan air yang dibutuhkan pada saat musim kemarau.







BAB 4
PENUTUP


4.1. Kesimpulan
Pola jaringan drainase perkebunan kelapa sawit terdiri dari 3 pola yaitu pola 2:1 (8 L) yang mempunyai 59 saluran tersier dari satu blok, pola 4:1 (12 M) yang mempunyai 29 saluran tersier dari satu blok, dan pola 6:1 (16 N) yang mempunyai 19 saluran tersier dari satu blok. Dalam pembuatan saluran drainase perkebunan kelapa sawit perlu diperhatikan dasar dan teknis dalam pembuatannya, salah satu misalnya merancang sistem drainase yang baik harus mengacu pada peta topografi dan bukan berdasarkan kondisi visual saja agar drainase tersebut dapat digunakan secara efektif dan efesien.
Pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yaitu mempunyai ciri khas tersendiri yaitu :
1.     Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik.
2.     Gambut memiliki sifat yang khas yaitu bersifat subsiden (penurunan  permukaan) dan irreversibel (Kering tak balik).
3.     Agar lahan gambut dapat dimanfaatkan perlu di buat drainase yg baik yaitu dengan membuat saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier pada lahan tersebut.
4.     Pertumbuhan kelapa sawit dapat terhambat pada lahan gambut apabila ada faktor pembatas seperti kesuburan tanah renda, pH terlalu rendah, drainase tidak baik.
5.     Produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut menunjukkan hasil 19,1 ton/ha pada gambut dangkal, 16,5 ton/ha pada gambut sedang dan 11, 9 ton/ha pada gambut dalam. Apabila drainase pada lahan gambut bagus maka produktivitas kelapa sawit di lahan gambut mencapai 25-27 ton/ha.

4.2. Saran
Dalam pembuatan saluran drainase harus diperhatikan secara tepat perhitungan dan syarat teknis (spesifikasi) tertentu supaya tujuannya dapat tercapai.